Aug 18, 2010

Menjenguk Orang Sakit


Menjenguk Orang Sakit dan Hukumnya


Orang sakit adalah orang yang lemah, yang memerlukan perlindungan dan sandaran. Perlindungan (pemeliharaan, penjagaan) atau sandaran itu tidak hanya berupa materiil sebagaimana anggapan banyak orang, melainkan dalam bentuk materiil dan spiritual sekaligus.

Karena itulah menjenguk orang sakit termasuk dalam bab tersebut. Menjenguk si sakit ini memberi perasaan kepadanya bahwa orang di sekitarnya (yang menjenguknya) menaruh perhatian kepadanya, cinta kepadanya, menaruh keinginan kepadanya, dan mengharapkan agar dia segera sembuh. Faktor-faktor spiritual ini akan memberikan kekuatan dalam jiwanya untuk melawan serangan penyakit lahiriah. Oleh sebab itu, menjenguk orang sakit, menanyakan keadaannya, dan mendoakannya merupakan bagian dari pengobatan menurut orang-orang yang mengerti. Maka pengobatan tidak seluruhnya bersifat materiil (kebendaan).

Karena itu, hadits-hadits Nabawi menganjurkan “menjenguk orang sakit” dengan bermacam-macam metode dan dengan menggunakan bentuk targhib wat-tarhib (menggemarkan dan menakut-nakuti yakni menggemarkan orang yang mematuhinya dan menakut-nakuti orang yang tidak melaksanakannya).

Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Hak orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin.”

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit, dan tolonglah orang yang kesusahan.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib, ia berkata, “Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan tujuh perkara … Lalu ia menyebutkan salah satunya adalah menjenguk orang sakit.”

Apakah perintah dalam hadits di atas dan hadits sebelumnya menunjukkan kepada hukum wajib ataukah mustahab? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Bukhari berpendapat bahwa perintah disini menunjukkan hukum wajib, dan beliau menerjemahkan hal itu di dalam kitab Shahih-nya dengan mengatakan: “Bab Wujubi ‘Iyadatil-Maridh” (Bab Wajibnya Menjenguk Orang Sakit).

Ibnu Baththal berkata, “Kemungkinan perintah ini menunjukkan hukum wajib dalam arti wajib kifayah, seperti memberi makan orang yang lapar dan melepaskan tawanan; dan boleh jadi mandub (sunnah), untuk menganjurkan menyambung kekeluargaan dan berkasih sayang.”

Ad-Dawudi memastikan hukum yang pertama (yakni fardhu kifayah; Penj.).

Beliau berkata, “Hukumnya adalah fardhu, yang dipikul oleh sebagian orang tanpa sebagian yang lain.”

Jumhur ulama berkata, “Pada asalnya hukumnya mandub (sunnah), tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu.”

Sedangkan ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit itu merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi orang selain mereka.

Imam Nawawi mengutip kesepakatan (ijma’) ulama tentang tidak wajibnya, yakni tidak wajib ‘ain.

Menurut zhahir hadits, pendapat yang kuat menurut pandangan saya ialah fardhu kifayah, artinya jangan sampai tidak ada seorang pun yang menjenguk si sakit. Dengan demikian, wajib bagi masyarakat Islam ada yang mewakili mereka untuk menanyakan keadaan si sakit dan menjenguknya, serta mendoakannya agar sembuh dan sehat.

Sebagian ahli kebajikan dari kalangan kaum muslim zaman dulu mengkhususkan sebagian wakaf untuk keperluan ini, demi memelihara sisi kemanusiaan.

Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunnah muakkadah, dan kadang-kadang bisa meningkat menjadi wajib bagi orang tertentu yang mempunyai hubungan khusus dan kuat dengan si sakit. Misalnya, kerabat, semenda, tetangga yang berdampingan rumahnya, orang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai hak guru dan kawan akrab, dan lain-lainnya, yang sekiranya dapat menimbulkan kesan yang macam-macam bagi si sakit seandainya mereka tidak menjenguknya, atau si sakit merasa kehilangan terhadap yang bersangkutan (bila tidak menjenguknya).

Barangkali orang-orang macam inilah yang dimaksud dengan perkataan haq (hak) dalam hadits: “Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima,” karena tidaklah tergambarkan bahwa seluruh kaum muslim harus menjenguk setiap orang yang sakit. Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki hubungan khusus dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.

Disebutkan dalam Nailul-Authar: “Yang dimaksud dengan sabda beliau (Rasulullah saw.) ‘hak orang muslim’ ialah tidak layak ditinggalkan, dan melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib atau sunnah muakkadah yang menyerupai wajib. Sedangkan menggunakan perkataan tersebut -yakni haq (hak)- dengan kedua arti di atas termasuk bab menggunakan lafal musytarik dalam kedua maknanya, karena lafal al-haq itu dapat dipergunakan dengan arti ‘wajib’, dan dapat juga dipergunakan dengan arti ‘tetap,’ ‘lazim,’ ‘benar,’ dan sebagainya.”


Keutamaan dan Pahala Menjenguk Orang Sakit

Diantara yang memperkuat kesunnahan menjenguk orang sakit ialah adanya hadits-hadits yang menerangkan keutamaan dan pahala orang yang melaksanakannya, misalnya:

1. Hadits Tsauban yang marfu’ (dari Nabi saw.), “Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul jannah.”

Dalam riwayat lain ditanyakan kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?” Beliau menjawab, “Yaitu taman buah surga.”

2. Hadits Jabir yang marfu’, “Barangsiapa yang menjenguk orang sakit berarti dia menyelam dalam rahmat, sehingga ketika dia duduk berarti dia berhenti disitu (didalam rahmat).”

3. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Barangsiapa menjenguk orang sakit maka berserulah seorang penyeru dari langit (malaikat), ‘Bagus engkau, bagus perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan tempat tinggal di dalam surga.”

4. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat, ‘Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Orang itu bertanya, ‘Oh Tuhan, bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’ Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di sisinya?’ ‘Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.’ Orang itu menjawab, ‘Ya Rabbi, bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’ Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati hal itu di sisiKu?’ ‘Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.’ Orang itu bertanya, ‘Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?’Allah menjawab, ‘Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati (balasannya) itu di sisi-Ku?”

5. Diriwayatkan dari Ali r.a., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tiada seorang muslim yang menjenguk orang muslim lainnya pada pagi hari kecuali ia didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga sore hari; dan jika ia menjenguknya pada sore hari maka ia didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga pagi hari, dan baginya kurma yang dipetik di taman surga.” (HR Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadits hasan.”)

Sumber : Fatwa-fatwa Kontemporer – Dr. Yusuf Al-Qardhawi

No comments:

Post a Comment